SEJARAH AGAMA BUDDHA
Sejarah agama Buddha mulai dari abad ke-6 SM
sampai sekarang dari lahirnya sang Buddha Siddharta
Gautama. Dengan ini, ini adalah salah satu agama tertua yang masih
dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini sementara berkembang, unsur
kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur kebudayaan Helenistik
(Yunani),
Asia Tengah,
Asia Timur
dan Asia Tenggara.
Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir
seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan
banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya
adalah aliran tradisi Theravada , Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang sejarahnya ditandai dengan masa
pasang dan surut.
Menurut tradisi
Buddha, tokoh historis Buddha Siddharta Gautama dilahirkan dari suku Sakya pada awal masa
Magadha (546–324 SM), di sebuah kota, selatan pegunungan Himalaya yang bernama Lumbini. Sekarang kota ini terletak di Nepal sebelah selatan. Ia
juga dikenal dengan nama Sakyamuni (harafiah:
orang bijak dari kaum Sakya").
Setelah kehidupan awalnya yang penuh
kemewahan di bawah perlindungan ayahnya, raja Kapilavastu (kemudian hari
digabungkan pada kerajaan Magadha), Siddharta melihat kenyataan kehidupan sehari-hari
dan menarik kesimpulan bahwa kehidupan nyata, pada hakekatnya adalah
kesengsaraan yang tak dapat dihindari. Siddharta kemudian meninggalkan
kehidupan mewahnya yang tak ada artinya lalu menjadi seorang pertapa. Kemudian ia
berpendapat bahwa bertapa juga tak ada artinya, dan lalu mencari jalan tengah (majhima patipada ). Jalan
tengah ini merupakan sebuah kompromis antara kehidupan berfoya-foya yang
terlalu memuaskan hawa nafsu dan kehidupan bertapa yang terlalu menyiksa diri.
Di bawah sebuah pohon bodhi,
ia berkaul tidak akan pernah meninggalkan posisinya sampai ia menemukan Kebenaran.
Pada usia 35 tahun, ia mencapai Pencerahan. Pada saat itu
ia dikenal sebagai Gautama Buddha, atau hanya "Buddha" saja, sebuah
kata dalam Sanskerta yang berarti "ia yang
sadar" (dari kata budh+ta).
Untuk 45 tahun selanjutnya, ia
menelusuri dataran Gangga di tengah India (daerah mengalirnya sungai Gangga
dan anak-anak sungainya), sembari menyebarkan ajarannya kepada sejumlah orang
yang berbeda-beda.
Keengganan Buddha untuk mengangkat
seorang penerus atau meresmikan ajarannya mengakibatkan munculnya banyak aliran
dalam waktu 400 tahun selanjutnya: pertama-tama aliran-aliran mazhab Buddha Nikaya, yang
sekarang hanya masih tersisa Theravada, dan kemudian terbentuknya mazhab Mahayana,
sebuah gerakan pan-Buddha yang didasarkan pada penerimaan kitab-kitab baru.
Tahap
awal agama Buddha
Sebelum disebarkan di bawah
perlindungan maharaja
Asoka pada abad ke-3 SM, agama Buddha kelihatannya hanya
sebuah fenomena kecil saja, dan sejarah peristiwa-peristiwa yang membentuk agama
ini tidaklah banyak tercatat. Dua konsili (sidang umum) pembentukan dikatakan
pernah terjadi, meski pengetahuan kita akan ini berdasarkan catatan-catatan
dari kemudian hari. Konsili-konsili (juga disebut pasamuhan agung) ini berusaha
membahas formalisasi doktrin-doktrin Buddhis, dan beberapa perpecahan dalam
gerakan Buddha.
Konsili
Buddha Pertama (abad ke-5 SM)
Konsili pertama Buddha diadakan
tidak lama setelah Buddha wafat di bawah perlindungan raja Ajatasattu dari Kekaisaran Magadha, dan dikepalai oleh seorang
rahib bernama Mahakassapa, di Rajagaha(sekarang disebut Rajgir). Tujuan konsili
ini adalah untuk menetapkan kutipan-kutipan Buddha (sutta (Buddha)) dan
mengkodifikasikan hukum-hukum monastik (vinaya): Ananda, salah
seorang murid utama Buddha dan saudara sepupunya, diundang untuk meresitasikan
ajaran-ajaran Buddha, dan Upali, seorang murid lainnya, meresitasikan
hukum-hukum vinaya.
Ini kemudian menjadi dasar kanon Pali, yang telah menjadi teks rujukan
dasar pada seluruh masa sejarah agama Buddha.
Konsili
Kedua Buddha (383 SM)
Konsili kedua Buddha diadakan oleh
raja Kalasoka di Vaisali, mengikuti konflik-konflik antara mazhab tradisionalis
dan gerakan-gerakan yang lebih liberal dan menyebut diri mereka sendiri kaum Mahasanghika.
Mazhab-mazhab tradisional menganggap
Buddha adalah seorang manusia biasa yang mencapai pencerahan, yang juga bisa
dicapai oleh para bhiksu yang mentaati peraturan monastik dan mempraktekkan
ajaran Buddha demi mengatasi samsara dan mencapai arhat. Namun kaum Mahasanghika
yang ingin memisahkan diri, menganggap ini terlalu individualistis dan egois.
Mereka menganggap bahwa tujuan untuk menjadi arhat tidak cukup, dan menyatakan
bahwa tujuan yang sejati adalah mencapai status Buddha penuh, dalam arti
membuka jalan paham Mahayana yang kelak muncul. Mereka menjadi pendukung peraturan
monastik yang lebih longgar dan lebih menarik bagi sebagian besar kaum
rohaniwan dan kaum awam (itulah makanya nama mereka berarti kumpulan
"besar" atau "mayoritas").
Konsili ini berakhir dengan
penolakan ajaran kaum Mahasanghika. Mereka meninggalkan sidang dan bertahan
selama beberapa abad di Indian barat laut dan Asia Tengah
menurut prasasti-prasasti Kharoshti yang ditemukan
dekat Oxus dan bertarikh abad pertama.
Lihat pula: mazhab awal Buddha
Dakwah
Asoka (+/- 260 SM)
Maharaja Asoka dari Kekaisaran
Maurya (273–232 SM)
masuk agama Buddha setelah menaklukkan wilayah Kalingga (sekarang Orissa) di
India timur secara berdarah. Karena menyesali perbuatannya yang keji, sang
maharaja ini lalu memutuskan untuk meninggalkan kekerasan dan menyebarkan
ajaran Buddha dengan membangun stupa-stupa dan pilar-pilar di
mana ia menghimbau untuk menghormati segala makhluk hidup dan mengajak
orang-orang untuk mentaati Dharma. Asoka juga membangun jalan-jalan dan rumah sakit-rumah
sakit di seluruh negeri.
Periode ini menandai penyebaran
agama Buddha di luar India. Menurut prasasti dan pilar yang ditinggalkan Asoka
(piagam-piagam Asoka),
utusan dikirimkan ke pelbagai negara untuk menyebarkan agama Buddha, sampai
sejauh kerajaan-kerajaan Yunani di barat dan terutama di kerajaan
Baktria-Yunani yang merupakan wilayah tetangga. Kemungkinan besar
mereka juga sampai di daerah Laut Tengah menurut prasasti-prasasti Asoka.
Konsili
Buddha Ketiga (+/- 250 SM)
Maharaja Asoka memprakarsai Konsili
Buddha ketiga sekitar tahun 250 SM di Pataliputra (sekarang Patna). Konsili ini
dipimpin oleh rahib Moggaliputta. Tujuan konsili adalah rekonsiliasi
mazhab-mazhab Buddha yang berbeda-beda, memurnikan gerakan Buddha, terutama
dari faksi-faksi oportunistik yang tertarik dengan perlindungan kerajaan dan
organisasi pengiriman misionaris-misionaris Buddha ke dunia yang dikenal.
Kanon Pali (Tipitaka,
atau Tripitaka
dalam bahasa Sanskerta, dan secara harafiah
berarti "Tiga Keranjang"), yang memuat teks-teks rujukan tradisional
Buddha dan dianggap diturunkan langsung dari sang Buddha, diresmikan
penggunaannya saat itu. Tipitaka terdiri dari doktrin (Sutra Pitaka), peraturan
monastik (Vinaya
Pitaka) dan ditambah dengan kumpulan filsafat (Abhidharma Pitaka).
Usaha-usaha Asoka untuk memurnikan
agama Buddha juga mengakibatkan pengucilan gerakan-gerakan lain yang muncul.
Terutama, setelah tahun 250 SM, kaum Sarvastidin (yang telah
ditolak konsili ketiga, menurut tradisi Theravada)
dan kaum Dharmaguptaka menjadi
berpengaruh di India barat laut dan Asia Tengah, sampai masa Kekaisaran
Kushan pada abad-abad pertama Masehi. Para pengikut Dharmaguptaka
memiliki ciri khas kepercayaan mereka bahwa sang Buddha berada di atas dan
terpisah dari anggota komunitas Buddha lainnya. Sedangkan kaum Sarvastivadin
percaya bahwa masa lampau, masa kini dan masa depan terjadi pada saat yang
sama.
Dunia
Helenistik
Beberapa prasati Piagam Asoka menulis
tentang usaha-usaha yang telah dilaksanakan oleh Asoka untuk mempromosikan
agama Buddha di dunia Helenistik (Yunani), yang kala itu berkesinambungan tanpa
putus dari India sampai Yunani. Piagam-piagam Asoka menunjukkan pengertian yang
mendalam mengenai sistem politik di wilayah-wilayah Helenistik: tempat dan
lokasi raja-raja Yunani penting disebutkan, dan mereka disebut sebagai penerima
dakwah
agama Buddha: Antiokhus II Theos dari Kerajaan
Seleukus (261–246 SM), Ptolemeus II Filadelfos dari Mesir (285–247 SM), Antigonus Gonatas dari
Makedonia (276–239 SM), Magas dari Kirene (288–258
SM), dan Alexander dari Epirus
(272–255 SM).
"Penaklukan Dharma telah
dilaksanakan dengan berhasil, pada perbatasan dan bahkan enam ratus yojana (6.400
kilometer) jauhnya, di mana sang raja Yunani Antiochos memerintah, di sana di
mana empat raja bernama Ptolemeus, Antigonos, Magas dan Alexander bertakhta,
dan juga di sebelah selatan di antara kaum Chola, Pandya, dan sejauh
Tamraparni." (Piagam Asoka, Piagam Batu
ke-13, S. Dhammika)
Kemudian, menurut beberapa sumber
dalam bahasa Pali,
beberapa utusan Asoka adalah bhiksu-bhiksu Yunani, yang menunjukkan eratnya
pertukaran agama antara kedua budaya ini:
"Ketika sang thera (sesepuh) Moggaliputta, sang
pencerah agama sang Penakluk (Asoka) telah menyelesaikan Konsili (ke-3) […],
beliau mengirimkan thera-thera, yang satu kemari yang lain ke sana: […] dan ke
Aparantaka (negeri-negeri barat yang biasanya merujuk Gujarat
dan Sindhu),
beliau mengirimkan seorang Yunani (Yona) bernama Dhammarakkhita". (Mahavamsa XII).
Tidaklah jelas seberapa jauh
interaksi ini berpengaruh, tetapi beberapa pakar mengatakan bahwa sampai
tingkat tertentu ada sinkretisme antara falsafah Yunani dan ajaran
Buddha di tanah-tanah Helenik kala itu. Mereka terutama menunjukkan keberadaan
komunitas Buddha di Dunia Helenistik kala itu, terutama di Alexandria
(disebut oleh Clemens dari
Alexandria), dan keberadaan sebuah ordo-monastik pra-Kristen
bernama Therapeutae (kemungkinan
diambil dari kata Pali "Theraputta"), yang
kemungkinan "mengambil ilham dari ajaran-ajaran dan penerapan ilmu
tapa-samadi Buddha" (Robert Lissen).
Mulai dari tahun 100 SM, simbol "bintang di tengah mahkota", juga secara alternatif disebut "cakra berruji delapan" dan kemungkinan dipengaruhi desain Dharmacakra Buddha, mulai muncul di koin-koin raja Yahudi, Raja Alexander Yaneus (103-76 SM). Alexander Yaneus dihubungkan dengan sekte falsafi Yunani, kaum Saduki dan dengan ordo monastik Essenes, yang merupakan cikal-bakal agama Kristen. Penggambaran cakra atau roda berruji delapan ini dilanjutkan oleh jandanya, Ratu Alexandra, sampai orang Romawi menginvasi Yudea pada 63 SM.
Batu-batu nisan Buddha dari era Ptolemeus juga
ditemukan di kota Alexandria, dengan hiasan Dharmacakra (Tarn, "The Greeks
in Bactria and India"). Dalam mengkomentari keberadaan orang-orang Buddha
di Alexandria, beberapa pakar menyatakan bahwa “Kelak pada tempat ini juga
beberapa pusat agama Kristen yang paling aktif didirikan” (Robert Linssen
"Zen living").
Ekspansi
ke Asia
Di daerah-daerah sebelah timur anak
benua Hindia (sekarang Myanmar), Budaya India banyak memengaruhi sukubangsa Mon. Dikatakan suku Mon
mulai masuk agama Buddha sekitar tahun 200 SM
berkat dakwah maharaja Asoka dari India, sebelum perpecahan antara aliran Mahayana
dan Hinayana.
Candi-candi Buddha Mon awal, seperti Peikthano di Myanmar tengah, ditarikh
berasal dari abad pertama
sampai abad ke-5
Masehi.
Penggambaran suku Mon mengenai (Dharmacakra), seni dari Dvaravati, +/-abad ke-8.
Seni Buddha suku Mon
terutama dipengaruhi seni India kaum Gupta dan periode pasca
Gupta. Gaya manneris
mereka menyebar di Asia Tenggara mengikuti ekspansi kerajaan Mon
antara abad ke-5
dan abad ke-8.
Aliran Theravada meluas di bagian utara Asia Tenggara di bawah pengaruh Mon,
sampai diganti secara bertahap dengan aliran Mahayana sejak abad ke-6.
Agama Buddha konon dibawa ke Sri Lanka
oleh putra Asoka Mahinda dan enam kawannya
semasa abad ke-2 SM.
Mereka berhasil menarik Raja Devanampiva Tissa dan banyak anggota bangsawan
masuk agama Buddha. Inilah waktunya kapan wihara Mahavihara, pusat aliran
Ortodoks Singhala, dibangunt. Kanon Pali dimulai ditulis di Sri Lanka semasa kekuasaan
Raja Vittagamani (memerintah 29–17 SM),
dan tradisi Theravada berkembang di sana. Beberapa komentator agama Buddha juga
bermukim di sana seperti Buddhaghosa (abad ke-4
sampai ke-5). Meski aliran Mahayana kemudian mendapatkan pengaruh kala itu, akhirnya
aliran Theravada yang berjaya dan Sri Lanka akhirnya menjadi benteng terakhir
aliran Theravada, dari mana aliran ini akan disebarkan lagi ke Asia Tenggara
mulai abad ke-11.
Ada pula sebuah legenda, yang tidak
didukung langsung oleh bukti-bukti piagam, bahwa Asoka pernah mengirim seorang
misionaris ke utara, melalui pegunungan Himalaya,
menuju ke Khotan
di dataran rendah Tarim, kala
itu tanah sebuah bangsa Indo-Eropa, bangsa
Tokharia.
Lihat pula: Piagam-piagam Asoka
Penindasan
oleh dinasti Sungga (abad ke-2 sampai abad ke-1 SM)
Dinasti Sungga (185–73 SM)
didirikan pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya maharaja Asoka. Setelah membunuh
Raja Brhadrata (raja terakhir dinasti
Maurya), hulubalang tentara Pusyamitra Sunga naik
takhta. Ia adalah seorang Brahmana ortodoks, dan Sunga dikenal karena kebencian dan
penindasannya terhadap kaum-kaum Buddha. Dicatat ia telah "merusak wihara
dan membunuh para bhiksu" (Divyavadana, pp. 429–434): 84.000 stupa Buddha yang telah
dibangun Asoka dirusak (R. Thaper), dan 100 keping koin emas ditawarkan untuk
setiap kepala bhiksu Buddha (Indian Historical Quarterly Vol. XXII, halaman 81
dst. dikutip di Hars.407). Sejumlah besar wihara Buddha
diubah menjadi kuil Hindu,
seperti di Nalanda,
Bodhgaya, Sarnath,
dan Mathura.
Lihat pula: Kekaisaran Sungga
Interaksi
Buddha-Yunani (abad ke-2 sampai abad pertama Masehi)
Drakhma
perak Menander I (berkuasa +/-
160–135 SM).
Obv: huruf Yunani, BASILEOS SOTHROS MENANDROY secara harafiah "Raja Penyelamat Menander".
Obv: huruf Yunani, BASILEOS SOTHROS MENANDROY secara harafiah "Raja Penyelamat Menander".
Di wilayah-wilayah barat Anak benua
India, kerajaan-kerajaan Yunani yang bertetangga sudah ada di Baktria
(sekarang di Afghanistan utara) semenjak penaklukan oleh Alexander yang Agung pada sekitar 326 SM:
pertama-tama kaum Seleukus dari kurang lebih tahun 323 SM,
lalu Kerajaan
Baktria-Yunani dari kurang lebih tahun 250 SM.
Arca Buddha-Yunani, salah satu penggambaran Buddha, abad
pertama sampai abad ke-2 Masehi, Gandhara.
Raja Baktria-Yunani Demetrius I
dari Baktria, menginvasi India pada tahun 180 SM
dan sampai sejauh Pataliputra. Kemudian
sebuah Kerajaan Yunani-India didirikan yang akan
lestari di India bagian utara sampai akhir abad pertama SM.
Agama Buddha berkembang di bawah
naungan raja-raja Yunani-India, dan pernah diutarakan bahwa maksud mereka
menginvasi India adalah untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Kekaisaran
Maurya dan melindungi para penganut Buddha dari penindasan kaum
Sungga (185–73 SM).
Salah seorang raja Yunani-India yang
termasyhur adalah Raja Menander I (yang berkuasa
dari +/- 160–135 SM).
Kelihatannya beliau masuk agama Buddha dan digambarkan dalam tradisi Mahayana
sebagai salah satu sponsor agama ini, sama dengan maharaja Asoka atau seorang raja
Kushan dari masa yang akan datang, raja Kaniska. Koin-koin
Menander memuat tulisan "Raja Penyelamat" dalam bahasa Yunani,
dan "Maharaja Dharma" dalam aksara Kharosti.
Pertukaran budaya secara langsung ditunjukkan dalam dialog Milinda Panha antara raja
Yunani Menander I dan sang bhiksu
Nagasena pada sekitar
tahun 160 SM.
Setelah mangkatnya, maka demi menghormatinya, abu pembakarannya diklaim oleh
kota-kota yang dikuasainya dan ditaruh di stupa-stupa tempat
pemujaannya, mirip dengan sang Buddha Gautama (Plutarkhus,
Praec. reip. ger. 28, 6).
Interaksi antara budaya Yunani dan
Buddha kemungkinan memiliki pengaruh dalam perkembangan aliran Mahayana,
sementara kepercayaan ini mengembangkan pendekatan falsafinya yang canggih dan
perlakuan Buddha yang mirip dengan Dewa-Dewa Yunani. Kira-kira juga kala
seperti ini pelukisan Buddha secara antropomorfis dilakukan,
seringkali dalam bentuk gaya seni Buddha-Yunani: "One might regard the
classical influence as including the general idea of representing a man-god in
this purely human form, which was of course well familiar in the West, and it
is very likely that the example of westerner's treatment of their gods was indeed
an important factor in the innovation" (Boardman, "The Diffusion of
Classical Art in Antiquity").
Berkembangnya
aliran Mahayana (Abad Pertama SM-Abad ke-2)
Koin emas Kekaisaran Kushan memperlihatkan
maharaja Kanishka I (~100–126 Masehi) dengan sebuah lukisan Helenistik Buddha, dan kata "Boddo" dalam huruf Yunani.
Berkembangnya agama Buddha Mahayana
dari abad ke-1 SM
diiringi dengan perubahan kompleks politik di India barat laut.
Kerajaan-kerajaan Yunani-India ini secara bertahap dikalahkan dan diasimilasi
oleh kaum nomad Indo-Eropa yang berasal
dari Asia Tengah,
yaitu kaum Schytia India, dan lalu kaum Yuezhi, yang mendirikan Kekaisaran
Kushan dari kira-kira tahun 12 SM.
Kaum Kushan menunjang agama Buddha
dan konsili keempat Buddha kemudian dibuka oleh maharaja Kanishka,
pada kira-kira tahun 100 Masehi
di Jalandhar atau di Kashmir. Peristiwa ini seringkali diasosiasikan dengan munculnya
aliran Mahayana
secara resmi dan pecahnya aliran ini dengan aliran Theravada.
Mazhab Theravada tidak mengakui keabsahan konsili ini dan seringkali
menyebutnya "konsili rahib bidaah".
Konon Kanishka mengumpulkan 500 bhiksu di
Kashmir, yang dikepalai oleh Vasumitra, untuk menyunting Tripitaka
dan memberikan komentar. Maka konon pada konsili ini telah dihasilkan 300.000
bait dan lebih dari 9 juta dalil-dalil. Karya ini memerlukan waktu 12 tahun
untuk diselesaikan.
Konsili ini tidak berdasarkan kanon Pali yang asli (Tipitaka).
Sebaliknya, sekelompok teks-teks suci diabsahkan dan juga prinsip-prinsip dasar
doktrin Mahayana disusun. Teks-teks suci yang baru ini, biasanya dalam bahasa Gandhari dan aksara Kharosthi kemudian
ditulis ulang dalam bahasa Sanskerta yang sudah menjadi bahasa
klasik. Bagi banyak pakar hal ini merupakan titik balik penting dalam
penyebaran pemikiran Buddha.
Wujud baru Buddhisme ini ditandai
dengan pelakuan Buddha yang mirip dilakukan bagaikan Dewa atau bahkan Tuhan.
Gagasan yang berada di belakangnya ialah bahwa semua makhluk hidup memiliki
alam dasar Buddha dan seyogyanya bercita-cita meraih "Kebuddhaan".
Ada pula sinkretisme keagamaan terjadi karena pengaruh banyak kebudayaan yang
berada di India bagian barat laut dan Kekaisaran Kushan.
Penyebaran aliran Mahayana
antara abad pertama - abad ke-10 Masehi.
Dari saat itu dan dalam kurun waktu
beberapa abad, Mahayana berkembang dan menyebar ke arah timur. Dari India ke Asia Tenggara,
lalu juga ke utara ke Asia Tengah, Tiongkok,
Korea,
dan akhirnya Jepang
pada tahun 538.
Kelahiran
kembali Theravada (abad ke-11 sampai sekarang)
Penyebaran aliran Buddha Theravada
dari abad ke-11.
Mulai abad ke-11,
hancurnya agama Buddha di anak benua India oleh serbuan Islam menyebabkan
kemunduran aliran Mahayana di Asia Tenggara. Rute daratan lewat anak benua
India menjadi bahaya, maka arah perjalanan laut langsung di antara Timur Tengah
lewat Sri Lanka
dan ke Cina
terjadi, menyebabkan dipeluknya aliran Theravada
Pali kanon, lalu
diperkenalkan ke daerah sekitarnya sekitar abad ke-11
dari Sri Lanka.
Raja Anawrahta
(1044–1077), pendiri sejarah
kekaisaran Birma,
mempersatukan negara dan memeluk aliran Theravada. Ini memulai membangun ribuan
candi Budha Pagan, ibu kota, di antara
abad ke-11 dan abad ke-13. Sekitar 2.000 di antaranya masih
berdiri. Kekuasaan orang Birma surut dengan kenaikan orang Thai, dan dengan
ditaklukannya ibu kota Pagan oleh orang Mongolia pada 1287, tetapi aliran Buddha
Theravada masih merupakan kepercayaan utama rakyat Myanmar sampai hari ini.
Kepercayaan Theravada juga dipeluk
oleh kerajaan etnik Thai Sukhothai sekitar 1260. Theravada lebih jauh
menjadi kuat selama masa Ayutthaya (abad ke-14
sampai abad ke-18),
menjadi bagian integral masyarakat Thai. Di daratan Asia Tenggara, Theravada
terus menyebar ke Laos
dan Kamboja
pada abad ke-13.
Tetapi, mulai abad ke-14,
di daerah-daerah ujung pesisir dan kepulauan Asia Tenggara, pengaruh Islam ternyata lebih kuat,
mengembang ke dalam Malaysia, Indonesia, dan kebanyakan pulau hingga ke selatan Filipina.
0 komentar:
Posting Komentar